Menjadi
seorang guru merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh sembarangan orang.
Guru sendiri juga mempunyai julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang
tersematkan arti bahwa jasa seorang guru kepada para muridnya tidak dapat dibalas oleh apapun. Menjadi seorang guru pun
tentunya akan menjadikan guru tersebut memiliki harga diri yang lebih tinggi
dibanding muridnya. Tapi nyatanya, belakangan ini pernyataan tersebut
dibalikkan oleh kasus-kasus miris yang menimpa guru-guru di Indonesia dan
bahkan penyebabnya berasal dari murid itu sendiri.
Terdapat
sebuah kasus menyedihkan yang datang dari seorang guru di daerah Sampang, Jawa
Timur. Guru tersebut bernama Ahmad Budi Cahyono yang biasa dipanggil Pak Budi.
Beliau bekerja sebagai guru seni lukis di SMA 1 Torjun, Jawa Timur. Beliau
mengalami nasib tragis dalam mengajar terakhirnya pada hari kamis yang mana,
beliau mendapatkan penganiayaan dari seorang muridnya yang berinisial HI hanya
karna menegurnya disaat sedang mengganggu temannya yang sedang mengerjakan tugas dan mencoret
pipinya dengan spidol. Penganiayaan tersebut berupa pukulan keras yang
dilakukan oleh murid tersebut yang mengenai pelipis kanan Pak Budi. Pada saat
itu, HI sempat meminta maaf kepada Pak Budi lalu kemudian beliau dipersilakan untuk
pulang lebih awal terkait dengan kondisinya.
Sesampainya
di rumah, beliau istirahat karena mengeluh pusing dan sakit kepala. Akibatnya,
beliau dilarikan ke Puskesmas Jrengik, Kabupaten Sampang. Karena puskesmas
tidak mampu manangani, beliau dirujuk ke rumah sakit DR Soetomo, Surabaya. 12
pihak rumah sakit kemudian menangani beliau dan beliau dinyatakan mengalami
Mati Batang Otak (MBO) yang menyebabkan seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi.
Lalu dokter memprediksikan beliau tidak akan hidup lebih lama lagi. Sekitar
pukul 21.40 di hari yang sama, beliau dinyatakan meninggal dunia dan jasadnya
langsung dibawa pulang ke rumahnya di sampang.
Melihat
dari kasus tersebut, pendidikan di Indonesia terancam akan turun drastis dari
yang diharapkan. Di mana, moral dan karakter dari para murid tidak lagi
dikedepankan dan sehingga menjadikan generasi penerus bangsa yang seperti ini.
Beranjak dari satu kasus di atas yang masih hangat, terdapat pula kasus yang
lain yang bermotif sama yang mana, seorang murid menantang kepala sekolahnya
untuk berkelahi di dalam ruang kepala sekolah. Belum jelas latar belakang
kejadian tersebut tetapi yang pasti ini sangat membuktikan bahwa pendidikan di
Indonesia saat ini sangat menyedihkan dikarenakan ulah para murid zaman
milenial ini.
Berbagai
sudut pandang dapat diambil dari kasus-kasus di atas, mulai dari sudut pandang
seorang pendidik, seorang murid serta masyarakat yang mengetahui dengan jelas
kasus-kasus tersebut. Sepanjang sejarah, kasus ini merupakan salah satu kasus
terparah yang melibatkan guru sebagai korban dan murid sebagai pelaku. Di mana
moral anak yang dianggap sebagai generasi bangsa? Kalau guru saja yang
mendidiknya dari yang tidak bisa menjadi bisa saja dilawannya tanpa rasa
bersalah sedikit pun, bagaimana dengan orang tua mereka? Apakah mereka memperlakukan
orang tua mereka sama seperti gurunya? Ataukah mereka tidak diajarkan adab
berbuat baik kepada orang lain? Atau bahkan hasrat tersebut lahir dari diri mereka
sendiri akibat pergaulan?
Mengkaji
kasus tersebut tidak akan ada habisnya jika dibandingkan dengan peraturan
pemerintah tentang hukuman bagi anak yang masih di bawah umur. Hukuman yang
terbaik adalah merehabilitasi terkait dengan perlakukan murid tersebut yang
diawasi oleh pihak keluarga itu sendiri. Memberikannya nasihat-nasihat baik dan
mengajarkan bagaimana seharusnya berperilaku kepada sesama manusia.
Berbicara
mengenai nasib guru saat ini membuat para calon guru berfikir ulang tentang
profesi yang akan mereka jalani dan memilih untuk bekerja tidak menjadi seorang
guru. Mereka menganggap harga diri seorang guru sudah tidak ada lagi di mata
murid-murid zaman now seperti
sekarang ini. Namun, keprofesionalan seorang guru itu yang menentukan bagaimana
seorang murid tersebut berkembang tentunya dengan moral dan karakter yang baik.
Jika banyak calon guru yang pindah haluan karena takut nasib mereka sama
seperti kasus tersebut, lalu siapa yang akan menaikkan harga diri guru-guru di
Indonesia agar dihargai kembali?
Melirik
ke masa lalu di mana guru-guru lebih tegas dalam mendidik murid-muridnya
memberikan hasil yang tidak mengecewakan sama sekali. Murid tersebut berhasil
menerapkan apa yang selama ini diajarkan gurunya yang menjadikannya individu
yang berkarakter dan bermoral. Lain halnya dengan murid sekarang ini yang
sangat tidak bisa diperlakukan keras. Maka dari itu, guru yang mengetahui hal
tersebut mewanti-wanti cara mengajar mereka agar tidak membuat murid sakit hati
dan menimbulkan ancaman tersendiri bagi guru tersebut. Akibatnya banyak murid
yang tidak tahu diri dan tidak menghargai guru tersebut, menjadikannya pula
sosok individu yang tidak bermoral dan tidak
berkarakter.
Karakter
murid zaman milenial ini yang tidak suka diperlakukan keras dapat dimodifikasi
dengan cara mengajar guru saat ini. Cukup menjadi guru yang menyenangkan dan
memberikan sebuah materi dengan metode yang mudah diserap dan tidak
bertele-tele. Tidak hanya memberikan materi pengetahuan saja, adab, perilaku,
moral dan karakter setiap murid pun sangat penting diajarkan tentunya dengan
cara dan metode yang menyenangkan pula. Metode tersebut sangat cocok diterapkan
pada anak-anak sekolah dasar yang pertumbuhan masih panjang. Namun, tidak
menutup kemungkinan akan berhasil pada sekolah menengah pertama dan atas.
Harga
diri seorang guru sangatlah tinggi dan harga diri tersebut yang menjadikannya
lebih dihargai oleh murid-muridnya. Janganlah takut bernasib malang bila
menjadi seorang guru karena apapun resikonya guru wajib mendidik muridnya agar menjadi
individu yang lebih baik lagi. Jika murid itu berperilaku layaknya bukan
pelajar, jangan salahkan muridnya, salahkan guru dan lingkungan yang
mendidiknya sampai jadi seperti itu. Harga diri seorang guru bisa dinaikkan
lagi dengan cara dan gaya mereka mengajar yang dapat mengubah murid itu menjadi
lebih baik.